sumber: Kat Clay, thediplomat.com |
Jepang dan Swedia merupakan dua negara dengan
tingkat kriminalistas terendah di dunia, Selain itu, kedua negara ini
memiliki reputasi yang sangat baik dalam hal pendidikan anak terutama
pendidikan anak usia dini hingga sekolah lanjutan tingkat atas. Namun demikian,
kasus bullying di kalangan siswa sekolah dasar tetap terjadi di kedua negara.
tingkat kriminalistas terendah di dunia, Selain itu, kedua negara ini
memiliki reputasi yang sangat baik dalam hal pendidikan anak terutama
pendidikan anak usia dini hingga sekolah lanjutan tingkat atas. Namun demikian,
kasus bullying di kalangan siswa sekolah dasar tetap terjadi di kedua negara.
Kasus bullying kerap terjadi di pada usia anak
sekolah dasar di berbagai negara. Perbedaan bullying di Jepang dan Swedia adalah,
anak-anak SD di Jepang kerap mengalami tekanan no fisik (sosial) sementara di
Swedia, anak-anak cenderung dibully secara fisik. Kesimpulan ini diambil dari sebuah studi yang
diselenggarakan oleh Institusi Riset Kebijakan Nasional dan lab. Riset Antoinette
Hetzler, seorang professor di Fakultas Sosiologi Universitas Swedia yang
membandingkan bullying di kedua negara.
sekolah dasar di berbagai negara. Perbedaan bullying di Jepang dan Swedia adalah,
anak-anak SD di Jepang kerap mengalami tekanan no fisik (sosial) sementara di
Swedia, anak-anak cenderung dibully secara fisik. Kesimpulan ini diambil dari sebuah studi yang
diselenggarakan oleh Institusi Riset Kebijakan Nasional dan lab. Riset Antoinette
Hetzler, seorang professor di Fakultas Sosiologi Universitas Swedia yang
membandingkan bullying di kedua negara.
Siswa yang dilibatkan dalam riset ini adalah
siswa kelas 6 dan kelas 8. Masalah yang coba digali dalam riset ini adalah
bagaimana mereka dibully dalam kurun waktu 2013 s.d 2015. Total siswa di
Swedia 350-500 anak, sementara di Jepang 700 anak. Anak-anak juga ditanya,
seberapa sering mendapatkan perlakukan kekerasan dari orang lain, apakah 1-2
kali selama masa sekolahnya, 2-3 kali selama satu bulan, satu kali selama
seminggu, atau beberapa kali dalam seminggu.
siswa kelas 6 dan kelas 8. Masalah yang coba digali dalam riset ini adalah
bagaimana mereka dibully dalam kurun waktu 2013 s.d 2015. Total siswa di
Swedia 350-500 anak, sementara di Jepang 700 anak. Anak-anak juga ditanya,
seberapa sering mendapatkan perlakukan kekerasan dari orang lain, apakah 1-2
kali selama masa sekolahnya, 2-3 kali selama satu bulan, satu kali selama
seminggu, atau beberapa kali dalam seminggu.
Bentuk kekerasan terbagi dua, ada kekerasan
fisik, mulai dari disenggol bahunya oleh siswa lain, dipukul atau ditendang.
Kekerasan non fisik (sosial), berupa kata-kata kasar atau kata-kata yang
menyinggung, dijauhi, diabaikan dan lainnya yang pernah diterima dari siswa lain.
Responden terdiri dari siswa laki-laki dan siswa perempuan.
fisik, mulai dari disenggol bahunya oleh siswa lain, dipukul atau ditendang.
Kekerasan non fisik (sosial), berupa kata-kata kasar atau kata-kata yang
menyinggung, dijauhi, diabaikan dan lainnya yang pernah diterima dari siswa lain.
Responden terdiri dari siswa laki-laki dan siswa perempuan.
Hasil studi ini menunjukkan, di negara
skandinavia, 65,6% kekerasan fisik ringan dialami oleh siswa laki-laki kelas 6.
Sementara di Jepang, 32,8%. Sementara itu, 21,4% siswa perempuan kelas 6 di Swedia pernah mengalami di bully
secara sosial. Di Jepang, 43.4% siswa
perempuan di usia yang sama mengalami kekerasan non fisik.
skandinavia, 65,6% kekerasan fisik ringan dialami oleh siswa laki-laki kelas 6.
Sementara di Jepang, 32,8%. Sementara itu, 21,4% siswa perempuan kelas 6 di Swedia pernah mengalami di bully
secara sosial. Di Jepang, 43.4% siswa
perempuan di usia yang sama mengalami kekerasan non fisik.
Menurut Mitsuru Taki, peneliti senior dari
Institut Riset Kebijakan Pendidikan Nasional, hal ini terjadi karena faktor
modelling dari orang dewasa. “Jepang memiliki pengalaman kekerasan fisik di
sekolah, serangan fisik kerap terjadi ketimbang kekerasan sosial. Bicara
tentang kekerasan sosial, ada asumsi bahwa membicarakan orang lain di belakang
mereka adalah hal yang wajar, karena orang dewasa juga melakukan hal itu.
Contoh, ketika anak-anak ini berkata pada anak korban bencana Fukushima, “kamu dapat uang penggantian kan?”
Institut Riset Kebijakan Pendidikan Nasional, hal ini terjadi karena faktor
modelling dari orang dewasa. “Jepang memiliki pengalaman kekerasan fisik di
sekolah, serangan fisik kerap terjadi ketimbang kekerasan sosial. Bicara
tentang kekerasan sosial, ada asumsi bahwa membicarakan orang lain di belakang
mereka adalah hal yang wajar, karena orang dewasa juga melakukan hal itu.
Contoh, ketika anak-anak ini berkata pada anak korban bencana Fukushima, “kamu dapat uang penggantian kan?”
Taki kemudian melanjutkan, di Swedia, kekerasan
seperti pengabaian dan menjauhkan orang lain dianggap pelanggaran hak asasi
manusia. “Swedia sudah jauh-jauh hari bekerja keras untuk mengatasi kekerasan
sosial dan negara ini juga sudah berusaha menghentikan kasus bullying antar
anak melalui jalur hukum. “
seperti pengabaian dan menjauhkan orang lain dianggap pelanggaran hak asasi
manusia. “Swedia sudah jauh-jauh hari bekerja keras untuk mengatasi kekerasan
sosial dan negara ini juga sudah berusaha menghentikan kasus bullying antar
anak melalui jalur hukum. “
Sumber info: asahi.com, sumber foto: Kat Clay, thediplomat.com