Di
ujung kematian? Wah, jangan becanda deh! Mau terkenal ya?
ujung kematian? Wah, jangan becanda deh! Mau terkenal ya?
Ini
bukan main-main, dan bukan kata saya. Simpulan ini, saya dengar sendiri dari
Bang Andre (Yuliandre Darwis) ketua KPI dan Mas Naratama, dalam acara “Seminar
Nasional Komerds 2018, Menjawab tantangan Program Televisi di Era Disrusi 4.0”
di Universitas Pembangunan Nasional Pondok Labu, 29 November 2018.
bukan main-main, dan bukan kata saya. Simpulan ini, saya dengar sendiri dari
Bang Andre (Yuliandre Darwis) ketua KPI dan Mas Naratama, dalam acara “Seminar
Nasional Komerds 2018, Menjawab tantangan Program Televisi di Era Disrusi 4.0”
di Universitas Pembangunan Nasional Pondok Labu, 29 November 2018.
Apa
yang membuat kedua tokoh tersebut begitu pesimis? Jawabannya karena eksistensi
media baru yang sangat massif dan merubah perilaku penonton TV Indonesia. “Saya
yakin milenials sekarang sudah tidak lagi menonton TV, tapi mengapa tetap ada
sinetron? Itu hasil dari rating, siapa yang mengeluarkan rating ? AC Nielsen
dari 11 kota. Apakah sudah mewakili Indonesia? Saya kurnag yakin,” ujar Andre.
Sepaham dengan Bang Andre, saya juga sering bertanya dengan mahasiswa di kelas,
apa masih menonton TV? Ada yang bilang masih, itupun acara berita atau film
kartun. Sinetron, berita dan acara lain tidak jadi agenda dalam kehidupan
mereka. Para milenials ini mendapatkan suplemen berita dari medsos, yang lebih
hangat dan lebih “renyah.”
yang membuat kedua tokoh tersebut begitu pesimis? Jawabannya karena eksistensi
media baru yang sangat massif dan merubah perilaku penonton TV Indonesia. “Saya
yakin milenials sekarang sudah tidak lagi menonton TV, tapi mengapa tetap ada
sinetron? Itu hasil dari rating, siapa yang mengeluarkan rating ? AC Nielsen
dari 11 kota. Apakah sudah mewakili Indonesia? Saya kurnag yakin,” ujar Andre.
Sepaham dengan Bang Andre, saya juga sering bertanya dengan mahasiswa di kelas,
apa masih menonton TV? Ada yang bilang masih, itupun acara berita atau film
kartun. Sinetron, berita dan acara lain tidak jadi agenda dalam kehidupan
mereka. Para milenials ini mendapatkan suplemen berita dari medsos, yang lebih
hangat dan lebih “renyah.”
Senada
dengan Andre, Naratama juga gak habis pikir dengan acara dangdut yang disiarkan
selama berjam-jam di stasiun TV. “apa ada yang menonton?” tanyanya, ternyata
menurut Nielsen ada, dan ratingnya tinggi.” Jadi kembali lagi, standarisasinya
adalah rating, pertanyaan selanjutnya, apakah cukup mewakili? Kita tidak akan
membahas kapabilitas A.C Nilesen dalam tulisan ini. Namun ada pertanyaan yang
cukup menggelitik, sampai kapankah kita akan terpaku dengan rating dan bekerja
sesuai dengan tuntutan itu, memproduksi acara yang sama, dengan pola yang sama,
dan mirisnya kebanyakan ditonton oleh nenek-nenek. Sementara, di luar sana,
konten TV sangat mudahnya diunduh, ditonton secara online.
dengan Andre, Naratama juga gak habis pikir dengan acara dangdut yang disiarkan
selama berjam-jam di stasiun TV. “apa ada yang menonton?” tanyanya, ternyata
menurut Nielsen ada, dan ratingnya tinggi.” Jadi kembali lagi, standarisasinya
adalah rating, pertanyaan selanjutnya, apakah cukup mewakili? Kita tidak akan
membahas kapabilitas A.C Nilesen dalam tulisan ini. Namun ada pertanyaan yang
cukup menggelitik, sampai kapankah kita akan terpaku dengan rating dan bekerja
sesuai dengan tuntutan itu, memproduksi acara yang sama, dengan pola yang sama,
dan mirisnya kebanyakan ditonton oleh nenek-nenek. Sementara, di luar sana,
konten TV sangat mudahnya diunduh, ditonton secara online.
Seorang
rekan yang bekerja di sebuah stasiun TV Berita, mengungkapkan bahwa redaksinya
tergopoh-gopoh mengimbangin jemari netizen yang lincah enggunggah berita maupun
video. “Kami kewalahan! Kami kalah cepat dibanding laporan netizen. Sayangnya,
kantor kami tidak menginzikan reporter TV melakukan vloging melalui ponsel
mereka. Karena tidak sesuai dengan standar “broadcast”, ambil gambar apaan tuh,
kok miring-miring? Dan sebagainya, itu
kata redaksi. Sementara di luar sana, siapa saja bisa membuat berita dan bisa
meraup keuntungan.”
rekan yang bekerja di sebuah stasiun TV Berita, mengungkapkan bahwa redaksinya
tergopoh-gopoh mengimbangin jemari netizen yang lincah enggunggah berita maupun
video. “Kami kewalahan! Kami kalah cepat dibanding laporan netizen. Sayangnya,
kantor kami tidak menginzikan reporter TV melakukan vloging melalui ponsel
mereka. Karena tidak sesuai dengan standar “broadcast”, ambil gambar apaan tuh,
kok miring-miring? Dan sebagainya, itu
kata redaksi. Sementara di luar sana, siapa saja bisa membuat berita dan bisa
meraup keuntungan.”
Kesiapan
menghadapi media baru, ternyata bukan hanya pada masyarakat keseluruhan, tetapi
juga para pelaku media ( termasuk manajemen). Masih banyak yang tergopoh-gopoh
dan meraba-raba. Coba bayangkan, bagaimana jika TV berita kalah cepat dengan
status FB? Atau TV non berita yang capek-capek produksi acara tetapi penonton
produktif malah asik buka internet, nonton apa saja bisa. Ngomong-ngomong soal
TV Korea Selatan. Mereka berhasil memutarbalikkan pesimisme masyarakat tentang
keberadaan TV. “Gak hanya di Indonesia, di US, banyak stasiun TV yang gulung
tikar. Al Jazeera tidak lagi beroperasi dan memilih jalur online, mereka bukannya
bangkrut tetapi inilah kenyataan yang harus dihadapi. Mau tidakmau harus
berubah,” ujar Naratama.
menghadapi media baru, ternyata bukan hanya pada masyarakat keseluruhan, tetapi
juga para pelaku media ( termasuk manajemen). Masih banyak yang tergopoh-gopoh
dan meraba-raba. Coba bayangkan, bagaimana jika TV berita kalah cepat dengan
status FB? Atau TV non berita yang capek-capek produksi acara tetapi penonton
produktif malah asik buka internet, nonton apa saja bisa. Ngomong-ngomong soal
TV Korea Selatan. Mereka berhasil memutarbalikkan pesimisme masyarakat tentang
keberadaan TV. “Gak hanya di Indonesia, di US, banyak stasiun TV yang gulung
tikar. Al Jazeera tidak lagi beroperasi dan memilih jalur online, mereka bukannya
bangkrut tetapi inilah kenyataan yang harus dihadapi. Mau tidakmau harus
berubah,” ujar Naratama.
Pada
tahun 2011, industri televisi Korea Selatan mengantongi pemasukan sebesar 4.251
Bilion Won ( USD 4.251 Milyar) dan membuka 22.200 lapangan pekerjaan
(oxfordeconomic 2012:10). Melalui Hallyu Wave yang dicanangkan Pemerintah Korea sejak tahun 80-an, Korea
Selatan berhasil membangun industri kreatifnya sehingga kini bisa memberikan
sumbangsih yang sangat berharga bagi pendapatan nasional. Pernyataan saya ini
kemudian disepakati oleh Naratama. “Kamu tahu? Anak saya sekolah mendaftar di
sekolah fashion, cukup ketat untuk bisa masuk ke sana. Enam dari Sembilan orang
asia, adalah mahasiswa dari Korea Selatan. Mereka berbondong-bondong belajar di
Amerika, buat apa? Untung mencari “Taste” atau “Mindset” pasar.Ketika mereka
kembali ke negaranya, mereka sudah bisa memahami musik, fashion, dan seni
lainnya. Dan saya sangat terkejut melihat banyak bule-bule yang ikutan
nari-nari K-Pop, bahkan mereka nyanyi pakai Bahasa Korea.”
tahun 2011, industri televisi Korea Selatan mengantongi pemasukan sebesar 4.251
Bilion Won ( USD 4.251 Milyar) dan membuka 22.200 lapangan pekerjaan
(oxfordeconomic 2012:10). Melalui Hallyu Wave yang dicanangkan Pemerintah Korea sejak tahun 80-an, Korea
Selatan berhasil membangun industri kreatifnya sehingga kini bisa memberikan
sumbangsih yang sangat berharga bagi pendapatan nasional. Pernyataan saya ini
kemudian disepakati oleh Naratama. “Kamu tahu? Anak saya sekolah mendaftar di
sekolah fashion, cukup ketat untuk bisa masuk ke sana. Enam dari Sembilan orang
asia, adalah mahasiswa dari Korea Selatan. Mereka berbondong-bondong belajar di
Amerika, buat apa? Untung mencari “Taste” atau “Mindset” pasar.Ketika mereka
kembali ke negaranya, mereka sudah bisa memahami musik, fashion, dan seni
lainnya. Dan saya sangat terkejut melihat banyak bule-bule yang ikutan
nari-nari K-Pop, bahkan mereka nyanyi pakai Bahasa Korea.”
Saya
penyuka acara Korea Selatan. Menurut saya, kesuksesan Korea mambangun kerajaan
hiburannya, bukan dengan cara “ujug-ujug.” Mereka membangunnya atas dasar kerja
keras, totalitas dan rasa bangga pada negara yang tinggi. Kita tahu, Korea
Selatan pernah dijajah oleh Jepang. Korea Selatan juga termasuk rajin “belajar”
dari Jepang bagaimana menjalankan industri kreatif (film, anime, fashion, seni dan lain-lain).
Hasilnya, media masa Korea Selatan menjadi salah satu yang dihormati di dunia. Masyarakat
Korea Selatan punya standar yang tinggi untuk menilai kualitas acara, acara
yang buruk sudah pasti tidak akan ditonton dan dapat cemoohan pedas.
penyuka acara Korea Selatan. Menurut saya, kesuksesan Korea mambangun kerajaan
hiburannya, bukan dengan cara “ujug-ujug.” Mereka membangunnya atas dasar kerja
keras, totalitas dan rasa bangga pada negara yang tinggi. Kita tahu, Korea
Selatan pernah dijajah oleh Jepang. Korea Selatan juga termasuk rajin “belajar”
dari Jepang bagaimana menjalankan industri kreatif (film, anime, fashion, seni dan lain-lain).
Hasilnya, media masa Korea Selatan menjadi salah satu yang dihormati di dunia. Masyarakat
Korea Selatan punya standar yang tinggi untuk menilai kualitas acara, acara
yang buruk sudah pasti tidak akan ditonton dan dapat cemoohan pedas.
1.
Kerja keras
Kerja keras
Tidak
ada makan siang gratis! Kecuali saat Jumat barokah!
ada makan siang gratis! Kecuali saat Jumat barokah!
Artinya,
semua harus dilakukan dengan tetesan keringat. Mau jadi artis/aktor artinya
harus belajar dulu. Kita tahu bahwa di Korea Selatan, sebelum menjadi
artis/aktor ada sistem trainee, atau
magang menjadi seniman. Mereka melakukan ini dari usia yang sangat belia. Usai
sekolah, latihan menari, menyanyi dan akting hingga malam. Ini mereka lakukan
tanpa melupakan kewajiban pendidikan formal. Jika sudah debut nanti, masa-masa trainee ini akan selalu mereka ingat
sebagai masa perjuangan. Rain, suami dari Kim tae Hee, pernah mengatakan
“Seorang penyanyi harus pernah merasakan kelaparan.” Itu ia katakan saat
menjadi juri pada acara “The Unit” di KBS.
semua harus dilakukan dengan tetesan keringat. Mau jadi artis/aktor artinya
harus belajar dulu. Kita tahu bahwa di Korea Selatan, sebelum menjadi
artis/aktor ada sistem trainee, atau
magang menjadi seniman. Mereka melakukan ini dari usia yang sangat belia. Usai
sekolah, latihan menari, menyanyi dan akting hingga malam. Ini mereka lakukan
tanpa melupakan kewajiban pendidikan formal. Jika sudah debut nanti, masa-masa trainee ini akan selalu mereka ingat
sebagai masa perjuangan. Rain, suami dari Kim tae Hee, pernah mengatakan
“Seorang penyanyi harus pernah merasakan kelaparan.” Itu ia katakan saat
menjadi juri pada acara “The Unit” di KBS.
Hal
ini juga berlaku dalam kegiatan medianya, terutama stasiun TV. Program TV yang
diproduksi (baik drama dan non drama) berdasarkan riset yang serius. Mereka
memahami sekali bagaimana melayani masyarakat lokal. Dengan kerja keras, kita
bisa menghargai usaha orang lain, menumbuhkan iklim kreativitas yang tinggi.
ini juga berlaku dalam kegiatan medianya, terutama stasiun TV. Program TV yang
diproduksi (baik drama dan non drama) berdasarkan riset yang serius. Mereka
memahami sekali bagaimana melayani masyarakat lokal. Dengan kerja keras, kita
bisa menghargai usaha orang lain, menumbuhkan iklim kreativitas yang tinggi.
2.
Totalitas
Totalitas
Karena
hampir rata-rata artis Korea Selatan memulai karir mereka dari magang, maka
mereka paham, artinya “menghibur orang.” Umumnya saat tampil di depan TV,
mereka mengesampingkan status artis, dan menjadi “pelayan masyarakat” demi
tuntutan naskah. Contohnya, ketika G Dragon – salah satu selebritis paling
makmur dan banyak royaltinya jadi tamu di acara Running Man. G Dragin yang juga
ikon fashion itu, tidak segan-segan nyemplung di lumpur, joget-joget menirukan girl group dance, dan melakukan aksi
konyol lainnya. Dia cukup paham, apa yang diinginkan oleh penonton akan
hadirnya ia sebagai bintang tamu. Dan jika, penonton suka dengan
kepribadiannya, maka kemungkinan besar penonton akan menyukai penampilan
konsernya dan lagu-lagunya.
hampir rata-rata artis Korea Selatan memulai karir mereka dari magang, maka
mereka paham, artinya “menghibur orang.” Umumnya saat tampil di depan TV,
mereka mengesampingkan status artis, dan menjadi “pelayan masyarakat” demi
tuntutan naskah. Contohnya, ketika G Dragon – salah satu selebritis paling
makmur dan banyak royaltinya jadi tamu di acara Running Man. G Dragin yang juga
ikon fashion itu, tidak segan-segan nyemplung di lumpur, joget-joget menirukan girl group dance, dan melakukan aksi
konyol lainnya. Dia cukup paham, apa yang diinginkan oleh penonton akan
hadirnya ia sebagai bintang tamu. Dan jika, penonton suka dengan
kepribadiannya, maka kemungkinan besar penonton akan menyukai penampilan
konsernya dan lagu-lagunya.
Para
pelaku industri media juga memiliki etos kerja yang sama. Totalitas saat
bekerja, totalitas erat kaitannya dengan disiplin tinggi. Persaingan hidup yang
berat mungkin menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat bekerja keras. Namun,
bukankah hidup ini adalah perjalanan menanjak?
pelaku industri media juga memiliki etos kerja yang sama. Totalitas saat
bekerja, totalitas erat kaitannya dengan disiplin tinggi. Persaingan hidup yang
berat mungkin menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat bekerja keras. Namun,
bukankah hidup ini adalah perjalanan menanjak?
3.
Rasa bangga
Rasa bangga
Umumnya
artis Korea Selatan tidak terlalu banyak yang bisa berbahasa Inggris, mereka
banyak yang belajar bahasa Jepang, tapi melafalkan Bahasa Inggris rasanya masih
agak sulit. Sebab itulah, mereka harus bekerja lebih keras agar Bahasa Mereka
disukai orang lain. Melalui kemasan lagu, fashion, film dan acara TV, bahasa
Korea menjadi bahasa yang mereka ucapkan. Mereka bangga jika bisa membawa
negaranya ke negara lain. Tentunya ketika membawa negara, para artis ini harus
bersikap positif. Perhatikan bagaimana para artis dan masyarakat Korea berkomentar, jika ditanya
pendapat mereka tentang makanan/negara lain. Dalam sebuah video di youtube,
saya pernah melihat bagaimana masyarakat Korea mencicipi “teh botol.” Saat
ditanya bagaimana rasanya mereka menjawab : “rasanya unik ya, mungkin karena
saya belum terbiasa, tapi enak.”
artis Korea Selatan tidak terlalu banyak yang bisa berbahasa Inggris, mereka
banyak yang belajar bahasa Jepang, tapi melafalkan Bahasa Inggris rasanya masih
agak sulit. Sebab itulah, mereka harus bekerja lebih keras agar Bahasa Mereka
disukai orang lain. Melalui kemasan lagu, fashion, film dan acara TV, bahasa
Korea menjadi bahasa yang mereka ucapkan. Mereka bangga jika bisa membawa
negaranya ke negara lain. Tentunya ketika membawa negara, para artis ini harus
bersikap positif. Perhatikan bagaimana para artis dan masyarakat Korea berkomentar, jika ditanya
pendapat mereka tentang makanan/negara lain. Dalam sebuah video di youtube,
saya pernah melihat bagaimana masyarakat Korea mencicipi “teh botol.” Saat
ditanya bagaimana rasanya mereka menjawab : “rasanya unik ya, mungkin karena
saya belum terbiasa, tapi enak.”
Mereka
sadar, bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah mewakili negara mereka. Sebab
itu, perlu hati-hati saat bicara dan bertindak.
sadar, bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah mewakili negara mereka. Sebab
itu, perlu hati-hati saat bicara dan bertindak.
Eh, tapi ada loh orang Korea yang nakal? Dan industry hiburan Korea juga
memiliki sisi gelap?. Kita sedang membahas secara umum. Dimana-mana pasti ada
kejahatan seperti itu. Seperti kata Mas Naratama, coba kita pelajari “mind Set dan taste-nya. ” Ayok kita berubah, menyongsong era industry 4.0! Ada
yang mau ajak saya ke Korea? Biar kita bisa belajar bareng?”